Sabtu, 30 November 2013

Budaya Buton dalam Kehidupan Modern

Dalam perkembangannya, budaya Pulau Buton bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang ada. Budaya Buton berkembang mengikuti perkembangan zaman. Bahkan baru-baru ini telah diselenggarakan Pagelaran Tari Kolosal dalam Rangkaian Sail Indonesia 2013 di bumi Takawa Kabupaten Buton dengan menampilkan 12.535.

Takawa adalah nama sebuah kawasan baru di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara yang terletak diatas bukit / pegunungan. Takawa adalah singkatan dari TAkimpo, KondowA dan WAbula. Takawa tersebut dibuat dengan tujuan akan dijadikan kawasan pemerintahan Kabupaten Buton nantinya.


Tari Kalaborasi Takawa yang digagas Bupati Buton berhasil menyabet rekor MURI sekaligus Rekor Dunia

Pelaksanaan sail Indonesia Komodo 2013 di Kabupaten Buton banyak menyuguhkan budaya-budaya adat yang dimiliki. Hampir seluruh budaya yang ditampilkan pemerintah Kabupaten Buton tercatat di dalam bukum Museum Tekor Indonesia (MURI). Yang sangat spektakuler dalam kegiatan sail Indonesia yakni pelaksanaan tarian kolosal Takawa dengan jumlah penari 12.535.


Lima tarian yang dikolaborasikan yakni tari Ponare, tari Potimbe, tari Kambero, tari Lawati dan tari Ngibi yang melibatkan peserta sebanyak 12.535 orang penari. Dari hasil kolaborasi kelima tarian tersebut mampu tercatat sebagai rekor dunia dengan jumlah penari terbanyak dengan nomor piagam penghargaan yang diberikan kepada Bupati Buton 6013/R.MURI/VIII/2013

Selain itu, dari setiap jenis tarian yang dikolaborasikan tersebut juga ikut tercatat dalam rekor MURI dengan peserta terbanyak. Dengan rincian, tari Ponare sebanyak 2.000 penari, tari Potimbe 2.000 penari, tari Kambero 3.000 penari tari Lawati 3.000 penari dan tari Ngibi sebanyak 2.500 ditambah dengan 35 orang penari pendamping. Pagelaran kolabarasi lima tarian tradisional inipun diprakarasi Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun.


"Dari kolaborasi kelima tarian tersebut mampu tercatat dalam rekor dunia. Karena sampai saat ini didunia lain belum pagelaran tarian dengan kolaborasi lima jenis tarian dan juga dengan jumlah peserta yang sangat banyak," ujar salah satu perwakilan dari MURI, Paulus.


Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, menjelaskan didalam momentum pelaksanaan sail Indonesia dengan menggelar tari kolosal di Takawa menjadi spirit elemen seluruh masyarakat Buton dan khususnya masyarakat eks Kesultranan Buton dalam rangka membangkitkan kembali semangat kejayaan Kesultanan Buton dimasa lampau "Saya yakin dan percaya, Buton di tangan Bupati yang baru beserta seluruh elemen masyarakatnya dapat saling mendukung dalam pelaksanaan pembangunan demi kemajuan Kabupaten Buton ke depan," katanya saat memberikan sambutan Takawa yang merupakan lokasi pembangunan pusat pemerintahan Buton kedepanBupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun usai pelaksanaan kegiatan tarian kolosal mengungkapkan dalam dua hari pelaksanaan sail Indonesia, Kabupaten Buton telah menyabet sedikitnya tujuh rekor MURI. Rekor tambahan tersebut yakni, tari potimbe 2.000 penari, Ponare 2.000 penari, Lawati 3.000 penari, Kambero 3000 penari dan tari Ngibi 2500 penari.

"Jadi sudah tujuh rekor yang kami peroleh. Setelah sebelumnya dua rekor dan dalam kegiatan tarian itu masing-masing juga mendapat rekor dari MURI dengan jumlah penari terbanyak. Untuk rekor dunianya itu hasil kolaborasi dari lima tarian tadi dengan jumlah penari terbanyak," jelas Umar Samiun, kemarin.

Dikatakan, dalam pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia ini akan menjadi potensi sekaligus tantangan bagi seluruh komponen masyarakat dimana setiap kegiatan tersebut sebagai destinasi para peserta sail Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Bupati Buton atas nama pemerintah apresiasi dan penghargaan kepada seluruh peserta tarian kolosal. Dengan keterlibatan langsung  dalam kegiatan ini dapat membesarkan budaya yang dimiliki.

"Supaya ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka (para penari), mereka adalah pahlawan-pahlawan budaya dan kita akan berikan penghargaan kepada semua karena bukan hanya dalam bentuk dukungan yang diberikan tapi karena mereka dapat langsung terlibat sebagai pelaku sejarah dalam momen bersejarah ini," ujarnya. (Kominfo Buton/KP)





Adaptasi Budaya Buton dengan Budaya Modern

Kampung Korea di Pulau Buton



INDONESIA adalah negeri yang amat kaya dengan berbagai tradisi dan kebudayaan. Kita tak sanggup mengenali satu per satu dari ribuan kebudayaan yang hidup dan berdenyut di negeri ini. Namun, tahukah kita bahwa sebuah etnis kecil di Pulau Buton punya nama yang sangat harum di negeri Korea Selatan? Tahukah kita bahwa bangsa Korea begitu peduli dengan keberadaan satu etnis di Tanah Air kita?

Yup. Nama etnis tersebut adalah etnis Cia-Cia. Satu etnis besar yang ada di Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada masa silam, etnis ini adalah bagian dari keragaman etnis di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Kini, etnis ini banyak menjadi buah bibir di Korea karena keberaniannya untuk mengadopsi huruf hangeul -huruf khas Korea- untuk menuturkan bahasa Cia-Cia. Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute -lembaga riset bahasa Korea- telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari di semua tingkatan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi saya, ini jelas sangat menarik dan menunjukkan bagaimana respon dan adaptasi lokal terhadap globalisasi.

Dalam kunjungan saya ke pemukiman masyarakat Cia-Cia di Kecamatan Sorawolio di Kota Bau-Bau, saya menyaksikan plang jalan yang bertuliskan nama jalan yang ditulis dalam dua jenis huruf yakni huruf latin dan huruf Hangeul. Seorang kawan yang melihat plang jalan tersebut berseloroh bahwa ini adalah lokasi film drama-drama Korea. Saat singgah ke beberapa sekolah, saya diperlihatkan panduan belajar bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Saya malah sempat bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Korea yang sedang praktik mengajar di beberapa sekolah.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, nama Cia-Cia sontak populer di Negeri Ginseng. Banyak jurnalis Korea dan Jepang yang khusus datang meliput di Bau-Bau. Beberapa media internasional ikut meliput antusiasme warga Cia-Cia yang mempelajar karakter huruf Korea. Di antara liputan media internasional tersebut, bisa dilihat DI SINI, DI SINI, DI SINI, dan DI SINI.

Saya sendiri mengkliping beberapa liputan media internasional. Dari berbagai liputan tersebut, terselip rasa optimisme sekaligus pesimis. Beberapa media, khsusunya yang terbit di Jepang, yang melihat itu sebagai lompatan besar dari ekspansi bangsa Korea secara perlahan-lahan di Bau-Bau. Ada semacam protes mengapa harus huruf Korea yang diperkenalkan. Tetapi, saya juga membaca beberapa liputan yang melihat kerjasama ini sebagai hal yang unik dan berwawasan jauh ke depan. Bagi orang Korea sendiri, kerjasama ini jelas hal yang memberikan rasa bangga kepada kebudayaannya sendiri. Fakta bahwa ada satu etnis yang jauh dari negerinya dan tiba-tiba mempelajari bahasanya secara intens menghadirkan kebanggan buat mereka. Pantas saja, liputan tentang Bau-Bau beberapa kali diputar di stasiun televisi Korea. Pantas pula jika banyak mahassiwa Korea yang ke Bau-Bau untuk mengajar bahasa.

Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Bau-Bau diundang langsung ke Korea. Bersama Walikota Bau-Bau Amirul Tamim, mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul. Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea (Korean Center) yang rencananya akan dibangun dengan biaya Rp 1 miliar di Bau-Bau. Pemerintah Korea telah mendatangkan seorang arsitektur kenamaan untuk membuat bangunan besar yang memadukan arsitektur tradisional Korea dengan arsitektur istana Kesultanan Buton. Tak hanya itu, juga akan dibangun infrastruktur pendukung berupa resort center, kompeks perhotelan, serta masuknya perusahaan tambang asal Korea.

Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalam pengetahuan bahasa. Belum lama berselang, dalam acara pertemuan akbar yang dihadiri sekitar 5.000 warga Korea di Jakarta, masyarakat Cia-Cia ikut diundang untuk mementaskan tarian Buton. Saat itu pula, seorang diva pop Korea yakni Jang Yun Jeong Park atau lebih akrab disapa Jang Yun Jeong dinobatkan sebagai Putri Cia-Cia yang akan mempromosikan Cia-Cia dan Bau-Bau ke negeri ginseng tersebut.

Awal Kerjasama

Bagaimanakah kisah awal diperkenalkannya huruf Korea? Menurut banyak pihak, pada tahun 2005, Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Dalam simposium ini, seorang pemakalah asal Korea Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah eks Kesultanan Buton. Ia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian selama beberapa waktu. Ia lalu memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea.

Dalam wawancara dengan Korean Times, Prof Chun Thay Hyun -pengajar di Seoul National University- mengatakan upaya ini tidak untuk melakukan Koreanisasi atas kebudayaan Buton. Upayanya adalah mempertahankan bahasa-bahasa yang hidup di Kesultanan Buton melalui alfabet korea. "In Indonesia, ethnic minority communities are losing their own spoken languages. We realized that the Korean alphabet could actually help preserve these endangered local languages." Sementara bagi Pemerintah Kota Bau-Bau, langkah ini jelas akan memberikan efek kerjasama yang luas di masa mendatang. Dengan kerjasama itu, Cia-Cia akan dikenal oleh dunia luar dan kelak akan memberikan manfaat berupa kerjasama di bidang investasi dan kebudayaan.

Bekerjasama dengan sejumlah lembaga kebudayaan yang disponsori bangsawan tradisional Korea, Chun lalu mengundang pihak Pemkot Bau-Bau dan sejumlah masyarakat Cia-Cia untuk berkunjung ke Korea. Dalam kunjungan tersebut, disepakati kerjasama berupa uji coba karakter huruf Hanggeul untuk melafalkan bahasa Cia-Cia sejak tahun 2007. Dalam kunjungan itu, juga dipekati kerjasama antara Walikota Bau-Bau dengan Walikota Seoul dan Busan, dua kota utama di Korea Selatan.

Kini, selangkah lagi Korean Center akan berdiri di Bau-Bau. Sebagai seorang warga yang berdiam di pulau ini, saya melihatnya dengan optimis sekaligus cemas. Mungkin kelak Bau-Bau akan menjadi kota yang dikenal di mancanegara dan hilir-mudik banyak orang korea berseliweran di daerah ini. Tapi, saya juga khawatir kelak kebudayaan Buton akan tinggal nama. Kebudayaan Buton hanya menjadi catatan kaki dari pencapaian emas jejak kebudayaan Korea yang merambah jauh hingga ke sini.

Bagaimanakah tanggapan anda?

CERITA RAKYAT BUTON ”PASIKAMBA” ( BAHASA CIA-CIA )


Pada zaman dahulu kala di kepulauan Buton hiduplah seorang ibu dengan anak perempuannya yang cantik. Ibunya bernama Wa Indi dan anak perempuannya bernama Wa Irone. Suaminya sudah lama meninggal dunia tanpa meninggalkan harta sedikitpun untuk mereka, kecuali sebuah gubuk kecil yang jauh dari keramaian desa. Wa Indi dan Wa Irone hidup dengan serba kekurangan. Setiap harinya harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka harus berkebun. Kebun yang mereka miliki tidak begitu luas, hanya sebidang tanah yang ditanami jagung dan ubi kayu. Selain itu mereka juga mencari kayu bakar di hutan, sebagian untuk dijual dan sisanya untuk dipakai sendiri. Kehidupan mereka jauh dari kebahagiaan.


Setiap kali Wa Irone ke pasar, selalu diejek oleh gadis-gadis desa lainya, sebab pakaian yang digunakanya sangat kumal dan compang-camping. Terkadang dia sedih karena merasa sangat terasing oleh orang-orang disekelilingnya. Biasanya seorang anak gadis bermain dengan teman sebayanya, tetapi ia harus bekerja keras memebantu ibunya. Meskipun demikian Wa Irone anak yang rajin beribadah. “mungkin ini takdir,” itulah kata-kata yang sering terlintas di benak Wa Irone.

Gadis-gadis seusia Wa Irone yang sudah menikah, tetapi entah kenapa jodoh Wa Irone belum kunjung datang. Siang itu saat membantu ibunya membuat kambose (jagung rebus yang sudah di pisah dari tongkolnya),  Wa Irone menyanyikan sebuah lagu yang tersengar sendu)

Kasihan diriku ini tinggal di dunia
tidak ada saudara yang merasa kasihan
Melihat kami kerabat yang baik yang dekat
Kita bersabar, saya bersukur
Disebut amalnya badan ini
Tuhan
Berikan saya iman  semoga memberikan saya rahmat
Hambamu yang Kamu kasihani

Mendengar nyanyian Wa Irone ibunya bertanya, “anakku, mengapa kamu bernyanyi  seperti itu ?” Wa irone menjawab, “aku hanya meratapi nasibku yang malang ini mengapa sampai sekarang kita tetap saja miskin ? jodohku tidak kunjung datang.”
“Sabar anakku jodoh di tangan Tuhan, “ jawab ibu Wa Irone menenangkan kegalauan hati anaknya.

Keesokan harinya dua orang pemuda kakak beradik pergi ke hutan untuk berburu rusa. Mereka adalah putra salah seorang bangsawan dari negeri Buton. Sang kakak  bernama La Ode Inci dan adiknya bernama La Ode Sina. Setelah mereka mendapatkan seekor rusa mereka lansung pulang. Dalam perjalanan pulang, La Ode inci dan adiknya mendengar suara nyanyian seorang gadis yang sangat merdu. Terlebih lagiLa Ode Inci, dia sangat terkesimah mendengarnya. Iya mengajak adiknya menelesuri siapakah gerangan gadis yang bersuara merdu itu. Ternyata gadis itu adalah Wa Irone kemudian La Ode Inci bertanya kepada Wa Irone, suara begitu indah, maukah kamu memberitahukan siapa namamu ?”
Wa Irone menjawab, namaku Wa Irone, apakah ada yang bisa saya bantu tuan ?”
“Ah, tidak, aku dan adikku hanya kebetulan lewat saja, perkenalkan namaku La Ode Inci dan ini adikku La Ode Sina,” jawab La Ode Inci. Kemudian kedua kakak beradik itu berpamitan kepada Wa Irone untuk melanjutkan perjalanannya.
Dalam perjalanan pulang La Ode Sina berkata kepada kakanya, “Kak, gadis yang tadi itu sangat cocok untuk kakak, dia sangat santun bicaranya halus apalagi wajahnya lumayan cantik.”
“Terus terang adikku, saat melihatnya aku lansung jatuh cinta, sepertinya dia gadia yang baik. Aku bemaksud melamarnya, saat tiba di rumah nanti aku lansung memberitahukanya pada ayah dan ibu,” kata La Ode Inci. Kemudian La Ode Sina bertanya pada kakaknya, “Tapi kak, apakah ayah dan ibu akan melamarkanya untuk kakak ? kakak lihat sendiri, pakaian gadis itu kumal, lagipula kak belum juga mengenalnya lebih jauh.”
“Tanpa tau banyak pun aku tahu gadis itu cocok untukku. Dan aku akan tetap berusaha membujuk ayah dan ibu agar melamarkanya untukku, “ kata La Ode Inci. “Terserah kakak saja, kalau kakak sudah menemukan yang cocok aku akan selalu siap membantu,” lanjut La Ode Sina“Terimakasih, kamu memang adikku yang paling bijaksana,” kata La Ode Inci.

Malam harinya seperti biasa sebelum tidur Wa Irone berdoa agar diberikan berkah yang banyak umur yang panjang, dan dipermudah jodohnya. Saat ia tidur, dalam mimpinya dia didatangi seorang kakek berjubah dan bersorban putih. Dia mengatakan Hai anakku, bersabarlah engkau, hidup kamu dan ibumu akan segerah berubah.”

Seketika itu Wa Irone terbangun dan ternyata hari sudah pagi. Seperti hari-hari biasanya, pagi-pagi sekali Wa Irone pergi ke pasar bersama ibunya Wa Indi untuk menjual kayu bakar yang sudah dikumpulkan kemarin. Setelah pulang dari pasar mereka langsung pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar di hutan untuk di jual kembali pada keesokan harinya. Kebetulan hari itu dia hanya pergi seorang diri ke hutan, tidak dengan ibunya. Setelah lama mengumpulkan kayu bakar dia tertidur di bawah sebuah pohon besar karena merasa kelelahan. Ketika ia tidur, ia kembali didatangi kakek dalam mimpinya tadi malam dengan pakaian yang sama pula. Kakek itu berkata, “Anakku Wa Ode Irone kini tibalah saatnya nasib kamu dan ibumu berubah.” Wa Irone terbangun dari tidurnya, karena merasa sudah siang, iapun lansung mengangkat kayu-kayu yang sudah di kumpulkanya untuk dibawah pulang.

Sesampainya di rumah, Wa Irone disuruh oleh ibunya untuk mencabut ubi kayu di kebun. Dia bergegas pergi ke kebun sambil membawa sebuah kasinala (sejenis parang yang hanya bagian ujungnya yang tajam) untuk  menjabut ubi kayu. Saat tiba di kebun kaki Wa Irone tersandung sebuah batu besar, dia langsung memindahkan batu itu agar mencederai orang yang lewat. Tetapi kemudian mata Wa Irone tertuju pada suatu benda keras di bawah batu keras tadi. Ia langsung menggai benda itu dengan kasinala yang ia bawa. Setelah berhasil menggali didapatinya sebuah peti besar yang ia tidak tahu apa isinya. Karena peti itu sangat berat, Wa Irone memanggil ibunya. Untung letak kebunnya yang berada di belakang rumah. Mereka kemudian menggontong bersama peti yang cukup besar dan berat itu. 

Setibanya di rumah mereka berdua lagsung membuka peti tersebut untuk melihat isi peti tersebut. Alangkah terkejutnya mereka berdua saat melihat tumpukan keping uang emas. Wa Irone berteriak girang, “ibu, ini harta karun.”

Mereka langsung bersujud syukur sebagai ucapan rasa terim kasih atas berkah yang datang tanpa mereka duga-duga. Seketika hidup mereka langsung berubah. Rumah mereka diperbaiki dan dilengkapi dengan perabot yang indah, serta mereka juga pakaian-pakaian yang bagus pula. Dengan pakaian-pakaian yang indah itu, Wa Irone terlihat lebih cantik seperti gadis-gadis putri bangsawan. Mereka tidak perlu bekerja keras lagi un tuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tapi semua itu tidak membuat mereka menjadi sombong. Mereka lebih sering membantu orang-orang yang kesusahan dan lebih giat lagi beribadah. Ternyata apa yang mereka lakukan selama ini tidak sia-sia.

Beberapa hari kemudian hari kemudian La Ode Inci bersama rombongan bangsawan laiinya datang ke rumah Wa Irone bermaksud untuk melamarnya. La Ode Inci terkejut kalau gadis yang akan dilamarnya kehidupannya sudah berubah. Semula ia mengira bahwa gadis yang dilamarnya bukan Wa Irone, karena lebih cantik dari sebelumnya.

Lamaran La Ode Inci diterima baik oleh Wa Indi ibu Wa Irone, apalagi Wa Irone juga mencintai La Ode Inci. Beberpa hari kemudian mereka melangsungkan acara pernikahan berlangsung tujuh hari tujuh malam, karena sudah merupakan kebiasaan golongan bangsawan saat menikahkan putera-puteri mereka. Bukan hanya golongan atas yang mereka undang, tetapi masyarakat rendahan juga mereka undang untuk ikut dalam acara pernikahan mereka.

Setahun kemdian La Ode Inci dan Wa Irone dikaruniani seorang anak laki-laki yang diberi nama La Ode Pasikamba yang artinya harta karun.

Dalam bahasa Cia:

IJamani ambuleanoari ipulo buton nodadi amia mancuana mowine mai anakalambe makidano. Inano kongea Wa Indi mai anakalambeno kongea Wa Irone. Mohaneno nomolengomo nomate idunia cia natumau piwaua naice hake hangga’aso mo’ia, hawite amea ka’ana kokodi nombilai ikaramea kampo. Wa Indi mai Wa Irone nodadi toa’ru kaeno. mintenihuloe hangga’aso  pikohunbuiano kahoci kadadia, mo’ia harusu namihamota. Hamotano mo’ia cia wala nato’owa, hawite atampa nokapimbulasiegandu mai kasobia. Mo’oli cuke’e moia uka pikamata sauno api hamota, aga;ano anuaso nakamaso’e mai sisano anuaso nakapake’e wutono. Dadino moi’ia mbilai hake mai kasumanaa.

Minte nimbulea Wa Irone inte idaoa, ia tarusu nobancie mowine-mowine kampo aga.ano, hangganomo pakeano nipakeno kadakihake. Aga’aso ia kikidilalono hangganomo pinamisie nombilaie mai mia-mia ilepeno. Biasano ungkaka kalambe baraba mai sabangka saumuruno, hawali ia tabe namikaraja’a anteru nahumamba Inano. Hawite mbarike’e Wa Irone ungkaka bukua sambahaea “ aipo nake’e kato’o’u” rikenomo pogauno ilalo hateno Wa Irone.

Kalambe-kalambe sa’umuruno Wa Irone  mo’olino nokawi, hawai moapa kato’ono Wa Irone ciapo nabundo. Kondocuaia’ari ia nohamba ianano pitoro kambose( gandu cibuka mina kacimbeno ) Wa Irone pikabanci alagu cipindongo malingu

Ka’asi kulu’uana inda’u pihora-hora I’dunia
Camane’e elea’u namo’asisa’u
Noita isami elea tumangku
Ingkita tosabara wite, inda’u sukuru
Nongea ba’da ia’ana
Ompu…
‘dawusia’u emani mai rahmatino
Mai ‘dawusia’u ka’asimu

Pindongo kabanci Wa Irone, inano nope’ena “ ana’u moapa kabanci mbacuke’e ancu?’ Wa Irone nobalo “inda’u piburi-buri dawua’uana, moapa noratomo mba’ina ana ingkita tomiskinimo anteru? Jodo’u ciapo uka nabundo.”
“Sabara ana’u, kato’o ilimano ompu,” balo inano Wa Irone patenangi emani hateno anano.

Samabitano rua mia anamohane akano mai aino inte Ikarompu hangga’aso nakamajere rusa. Mo’ia anamohaneno kanto’owano buton. Aka-aka kongea La Ode Inci hande aino kongea La Ode Sina. Mo’oli mo’ia nopitabu rusa, mo’ia tarusu kabala. Ilalono hangka’a balea, La Ode Inci mai aino pindongo kabanciano kalambe ‘bamalinguamo. Aipo uka La Ode Inci, ia nopintotobanga pindongo’e. ia noguguru aino pikamata inde’eno kalambe malingua iahaleo. Para’a kalambe iahaleo Wa Irone. Mo’oli mbarike’e La Ode Inci pe’enamo I Wa Irone,
“ kabancimu mangada hake ingka, cuhumada ‘bara iso’o cumo’ombasia’u ngeamu?”
Wa Irone nobalo, “ngea’u Wa Irone, ndane’e ahumamba simiu?”
“Ah, cia, inda’u mai ai’u hawite kabatula tolalo, ngae’u La Ode Inci mai nake’e ai’u ngeano La Ode Sina, “ nobalo La Ode inci. Mo’oli mbarike’e kadorua ai mai akano nokaposangamo I Wa Irone hangga’aso nakatumarusu pihangkahangka’ano. Ilalono lalano kabale La Ode Sina nopogau I wa’akano’ “aka, kalambe iahaleo sapasino hangga’aso aka, ia ‘bamomalumo, pogauno halusu, ajono uka mangada.”
“tarus taraha ai’u saitano inda’u tarusu pe’elue’ koajono ia kalambe omela. Inda’u piburiburi alumosa’e. saratonto I ka’ana inda’u atumarusu amo’omba’e inanto mai amanto,” tangari La Ode Inci. Mo’olimbarike’e La Ode Sina nope’enamouak i akano.
“ hawai aka, pantea inanto mai amanto nahumada nalumosa’aso aka? Aka itaso wutomu, pakeani kalambe iahaleo mbakadakimo. Mai aka uka ciapo cukumonie mbilai uka.”
“ biara cia akumonie to’aru uka inda’u konie kalambe iahaleo sapasino hangga’aso inda’u. mai inada’u tatapu a’usaha atumataku manto mai inanto hangga’aso nalumosa’aso inda’u,” tangari La Ode Inci.”
“malingumo aka ancu, hande aka pitabuemo kasapasino inda’u siapu abantu,” patarusue La Ode Sina.
“ tarima kasi, iso’o hingganomo ai’u emelano hake,” tangari La Ode Inci.

Rato morondo koajo biasano nkamoncuru Wa Irone nopidoa hangga’aso nadumawusie barakati to’aro, umuru ko’ata, mai namomalusie kato’ono. Tangasano moncuru, ilalo poninipino ia nobundo’e amia mancuana mbaju to’oba mai pikaluncu mopute. Ia nopogau “hai ana’u, sabara iso’o, ‘dadimu mai inamu nabaruba wite.”

Abantar Wa Irone nobangu mai para’a wawala’amo. Koajo hulao biasano, sawawalano hake Wa Irone inte Idaoa mai inano Wa Indi hangga’aso nakamara’aso sauno api cipikumpuluno hanowia. Mo’oli nokabale mina Idaoa mo’ia inte ikarompu hangga’aso nakarumompu auno api ikarrompu hangga’aso nakamaso’e mindua samabitano. Kabatula huleo ia’ari ia inte wite kaso’osano I karompu, cia mai inano. Mo’oli molengo pirompu sauno api ia cipiromo iworuno sau to’owa hingganomo nomomalemo. Tamngasano moncuru, ia nombulasie bundo’e mancuana ilalo poninipino hamurondo mai pakea po’ita. Tete ia haleo pogau, “ana’u Wa Irone nake’e ratomo kato’omu mai inamu nabarubah,”

Wa Irone nobangu mina kancuruabo, ia cia namengerti para’a larono pogauno tete iahaleo ilalo pononipino. Hinggano pinamisie kondocumo huleo, ia tarusu noangke sau-sau cirompuno hangga’ao nabawae bale. 

Saratono ika’ana, w a irone no cindala’e inano nahumowu kasobia I hamota.  Ia pikamamarimba inte ihamota mai nobawa kacikali. Hangga’asaonahumowu kasobia. Saratono ihamota kake Wa Irone cipaleko iloko to’owa, ia tarusu papinda’e loko iahaleo hangga’aso cia narumapo mia lumalo. Hawai mbarike’e mata Wa Irone notonto ikante iworuno loko to’owa haleo. Ia taruru nopisese anuiahaleo mai kacikali ni’bawano. Mo’oli noseseie pitabumo peti to’owa ia cia nakumonie isino. Hingganomo peti iahaleo ‘bata’owamo, Wa Irone noungku inano. Madawua tampano hamotano kotaro ibalakano ka’ana. Mo’ia mo’oli pohambasie soro peti to’owa mai moboa iahaleo.

Saratono ika’ana mo’ia kadorua tarusu nobuka peti haleo nakamita’e isi peti. Kamahano lalono mo’ia kadorua nokaita pobabacuri ‘doe mai bulawa. Wa Irone noko’aki. “ina, nake’e harta karu.”

Mo’ia tarusu nokandole sukuru sabagai tarima kasi barakati’ana nobundo cia nakumonie. Samarimba dadino mo’ia taurusu baruba.ka’anano mo’ia nopigaue mai nopalangkapue mangada, mai mo’ia uka nokabalu pakea-pakea mangada uka. Mai pakea-pakea mangada cuke’e Wa Irone noci’ita mangada hake koajo kalambe-kalambe kanto’owa aga’ano. Mo’ia cia nakamarlulu karaja’a hangga’aso pikohumbuano ‘dadino. Hawai handa’e rike’e cia najumadisie kocio. Mo’ia ‘bara nokabantu mia-mia maseke mai noragani paibada. Para’a salam nake’e nipigauno cia mai papara’ano.

Piahuleo mo’oli, La Ode Inci mai mia kanto’owa aga’ano nobundo ika’anano Wa Irone hangga’aso nakalumosa.La Ode I nci mahalalono para’a kalambe nilosano inciano Wa Irone, higganomo nomangadamo cia koajo ipiamo ari.

Losa’ano La Ode Inci notarima’e Wa Indi inano Wa Irone, para’a uka Wa Irone nope’elu La Ode Inci. Minte nihuleo mo’ia nokawimo. Acarano nopolele picu huleo picu rondo, hingganomo kabiasaanomo kanto’owa nopakawi kalambe mai anamohaneno mo’ia. Inciano wite mna kanto’owa ciungkuno, hawai mia cia dumane’e uka mo’ia hokolo ikawiano mo’ia.

Ataku mbarike’e La Ode Inci mai Wa Irone nodawusiemo amia ungkaka mohane nokongeasiemo La Ode Pasikamba  ma’nano harta karu. 

CERITA RAKYAT BUTON LA ONTO-ONTOLU

Alkisah, ada seorang putra raja bulan turun ke bumi. Ia bernama La Onto-ontolu. La Onto-ontolu adalah putra sulung raja bulan yang gagah perkasa.
Suatu ketika, La Onto-Ontolu sempat menyaksikan keindahan panorama bumi. Ia sangat tertarik dengan keindahan alam bumi ini. Rasanya ia ingin terjun ke bumi, ingin menikmati alamnya.
Pada suatu hari, La Onto-Ontolu menyamar menjadi sebutir telur. Setelah itu, ia meluncurkan dirinya ke bumi. Telur itu hinggap  di petarang ayam (sarang tempat ayam bertelur) nenek tua. Pada saat itu, nenek tua berada di kebunnya.  Tiba-tiba terdengar olehnya kotek-kotek ayam ramai bersahut-sahutan sebagai tanda ada sesuatu yang aneh bagi mereka. Suara ayam yang gaduh itu sempat di dengar oleh nenek tua di kebun. Kotek-kotek ayam itu mengundang perasaan si nenek tua untuk segera kembali ke pondoknya. Dengan tak berpikir panjang lagi, nenek tua segera kembali ke gubuknya. Ia khawatir jangan-jangan telur ayamnya dimakan oleh burung gagak.
Dari kebun, nenek tua langsung melihat petarang ayamnya. Dengan langkah hati-hati, ia memeriksa telur ayamnya. Wauw…, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ia melihat sebutir telur raksasa. Si nenek tua itu keheran-heranan melihat telur sebesar itu. Selama hidupnya, ia belum pernah sebesar itu. Diambilnya telur itu, lalu disimpannya didalam keranjang. Keesokan harinya, si nenek tua pergi lagi ke kebun.pergi diwatu pagi, pulang ke gubuk setelah ia lapar disiang hari. Pada hari itu, ia amat kesal karena makanan yang telah disiapkan nyaris ludes. Siapa yang melahapnya? Nenek tua sendirian tidak tahu. Bahkan air ditempayang pun kering sama sekali.
“Wah…,wah…,wah!Keterlaluan sekali ini. Siapa gerangan yang melahap semua ini?”
Keesekan harinya begitu lagi. Makanan dan air nenek tua habis sama sekali. Si nenek tua bertambah bingung.
“Dari mana orang yang menghabiskan makanan dan air di gubukku ini?” nenek tua bertanya dalam hatinya.
Rasanya, si nenek tua ini tidak sabar lagi. Ingin sekali ia melihat orang yang selalu menghabiskan makanan dan airnya itu.
Pada suatu pagi, sebelum pagi ke kebun, nenek tua lebih dahulu menyiapkan makanan. Di samping makanan, disiapkan pula sirih dan tembakau. Setelah itu, ia mengambil tembilangnya (alat untuk menyiangi rumput), lalu pergi ke kebun.
La Onto-ontolu merasa senang sekali karena banyak makanan yang disediakan. Gubuk sudah sepi. Mulailah La Onto-ontolu keluar lagi dari telur itu. Sebelum makan, ia mandi lebih dahulu.
Setelah itu, La Onto-ontolu mulai makan. Semua makanan yang tersedia dilahapnya samapai bersih. Makanan dihabiskan dan air pun dipakai mandi sampai kering. Di samping makanan tadi, tampak olehnya sirih dan tembakau. Dicobanya pula tembakau dan sirih itu. Karena tidak biasa, ia merasa pusing dan lama-lama pingsan.
Sementara itu, si nenek datang dari kebun. Alangkah terkejutnya pula ketika ia menoleh ke dapur. Terlihat olehnya sosok tubuh manusia yang tidak dikenalnya sama sekali sedang terbaring. Si nenek tua mau berteriak, tetapi suaranya tertahan akibat ketakutan. Dengan perasaan gemetar, si nenek tua itu mulai mendekati sosok tubuh yang terbaring itu.
“Siapa gerangan pemuda yang gagah perkasa ini?” Tanya si nenek tua dalam hatinya.
Disangkahnya sosok tubuh itu adalah mayat, ternyata masih hidup. Dengan hati yang waswas, si nenek tua itu berusaha menyadarkan pemuda itu. Tak lama kemudian, pemuda itu siuman dan sadar kembali. Alangkah malunya pemudah itu ketika dihadapannya duduk si nenek tua pemilik gubuk itu. Dengan rasa ikhlas, ia memohon maaf kepada si nenek tua itu.
Si nenek tua kini merasa gembira setelah mengetahui hal ihwal dan asal-muasal si pemudah itu. Setelah diselidiki, ternyata pemuda itu adalah putra raja bulan bernama Sumantapura. Ia turun ke bumi dengan menyamar ke dalam telur.
Tinggallah mereka berdua disebuah gubuk. Kehidupan mereka sehari-hari hanya cukup makan dan minum saja. Penderitaan ini telah lama berlangsung. Namun,Sumantapura dan si nenek tua itu saling mengasihi dan menyayangi .
Pada suatu waktu Sumantapura memohon pada Tuhan Yang mahakuasa agar menganugerahkan rumah mewah bertingkat beserta perlengakapan di dalamnya. Dalam sekejab, Tuhan mengabulkan permohonan Sumantapura. Rumah mega tiba-tiba berdiri dihadapannya. Tinggallah dia bersama si nenek tua dalam sebuah rumah mewah.
Rumah yang begitu indah rasanya sepi bila tak ada sang istri. Memohonlah Sumantapura kepadasi nenek tua itu agar melamar salah seorang putri raja negeri itu. Kebetulan putri raja ada tujuh orang berdasaudara.
“Kalau boleh, tolong lamarkan putri sulung,” kata Sumantapura kepada si nenek tua.
Pergilah si nenek tua ke istana raja. Namun, sayang,lamarannya itu ditolak oleh putri sulung karena nama pemuda yang melamar itu La Onto-ontolu yang artinya”telur”.
Memang nenek tua itu sengaja tidak memberitahukan nam La Onto-ontolu yang sebenarnya. Hal ini di sampaikannya kepada Sumantapura.
Sumantapura tidak putus asa. Ia memohon lagi kepada si nenek tua untuk melamar putrid kedua raja. Namun, hasilnya sama dengan yang pertama tadi.
Sumantapura pun tidak mengenal putus asa. Dilamarnya lagi putri yang ketiga, sampai kepada putri yang ketujuh. Putri yang ketujuhlah yang menerima lamaran Sumantapura.
Putri bungsu itu sudah bertekad bulat walaupun pemuda itu bernama La Onto-ontolu. Oleh karena itu, ia diejek-ejek oleh kakak-kakanya.
Dengan hati yang sabar, cinta putrid bungsu tak luntur sedikit pun.
Pada suatu sore, Sumantapura berjalan-jalan di depan istana dengan menunggang kuda. Di sanalah mereka melihat sosok tampan pemuda itu. Barulah gadis-gadis itu menyeseli dirinya, mengapa tidak menerima lamarannya waktu itu. Namun, penyesalan mereka itu semuanya tidak ada gunanya.
Sumantapura hanya sejenak saja di situ, lalu kembali lagi kerumahnya. Sampai di rumah, ia menyuruh si nenek tua itu untuk membawa telur besar itu ke istana raja. Telur itu akan diberikan kepada sang putri bungsu.
Pergilah nenek tua itu membawa telur kepada putri bungsu. Putri bungsu dengan senang hati menerima telur itu. Di simpannyalah telur itu dekat tempat tidurnya. Selama ada telur itu, tampaknya ada keanehan-keanehan dalam istana. Air yang berlimpah di waktu sore, kering sama sekali di waktu pagi. Begitu seterusnya. Entah siapa yang memakai air itu, tak seorang pun yang mengetahuinya.
Pada suatu malam, putri  bungsu berusaha menjagai orang yang selalu menghabiskan air itu. Pada tengah malam, terdengar olehnya burai air seolah-olah ada orang yang mandi.
Benar juga. Sumantapura mandi di tengah malam. Putri bungsu tetap di pembaringan, tetapi tetap terjaga. Dengan langkah perlahan-pelan, Sumantapura keluar dari kamar mendi menuju tempat tidur putri bungsu. Putri bungsu semakin memperhatikannya. Lalu tampak olehnya seorang pemuda yang gagah perkasa. Pada saat itulah diketahui bahwa orang yang selalu menghabiskan air di tempayan adalah sang pemuda itu.
            Mulailah diselidiki, siapa gerangan pemuda yang menyamar dalam telur itu. Setelah diketahui, ternyata pemuda itu adalahSumantapura. Dengan persetujuan kedua orang tua putri bungsu maka dikawinkanlah mereka.
            Perkawinan mereka itu sungguh-sungguh menambah kekesalan dan kedongkolan kakak-kakak putri bungsu. Dengan kedongkolan itu, mereka tetap mendedam pada adik bungsu mereka. Berbagai cara mereka lakukan agar putri bungsu ini menderita.
            Pada suatu waktu, kakak-kakaknya putri bungsu. Berencana mengajak si adik bersama suaminya pergi mandi-mandi ke laut. Ajakan itu di terimanya dengan senag hati. Putri bungsu pun langsung memberitahukan ajakan itu kepada suaminya. Selain membawa bekal, mereka juga membawa rokok, sirih, dan lain-lain.
             Keesokan harinya, mereka pergi bersama-sama ke laut dengan menumpang perahu. Sampai di tengah laut, puan (tempat sirih) putri bungsu dibuang ke laut oleh kakaknya. Putri bungsu meraung-raung menangis kerena puan itu adalah puan emas kesayangannya. Terpaksa ia membujuk rayu suaminya agar mau menyelam ke dasar laut.
            Atas dasar kasih sayang dan cinta, terpak suaminya melompat ke laut. Baru saja ia melompat, kakak putri bungsu segera mendayung perahu kembali ke darat. Suami putri bungsu ditinggalkan di tengah laut. Putri bungsu tak dapat berbuat apa-apa. Tertinggallah Sumantapura sendirian di laut. Ia tawakal saja kepada Tuhan yang Mahakuasa.
            Putri bungsu telah kehilangan segalanya. Suaminya telah hilang ditelan ombak.
            Kakak-kakak putri bungsu merasa puas setelah melihat adik mereka itu menderita. Putri bungsu pun kembali ke rumahnya dengan perasan hancur luluh.
            Sekitar tengah malam, pintu rumah putri bungsu tiba-tiba diketuk, seraya meminta agar dibukakan pintu. Putri bungsu sangat ketakutan walaupun yang mengetuk pintu itu sesungguhnya suaminya sendiri, Sumantapura.
            Putri bungsu tidak percaya sedikit pun. Ia beranggapan bahwa suaminya telah meninggal di laut. Ternyata anggapannya tidak benar. Puan yang dibuang di laut itu didapatkannya kembali.
            Dengan penuh rasa haru, terpaksa Sumantapura meninggalkan rumahnya hendak kembali ke bulan. Di kala itu putri bungsu sadar, jangan-jangan yang mengetuk pintu tadi adalah benar-benar suaminya. Dibukanya pintu. Ternyata benar, puannya ada di depan pintu.
            Sementara itu, Sumantapura sudah berjalan jauh, tetapi masih mendengar teriakan istrinya. Sang putri bertekad mengikuti suaminya ke mana pun pergi.
            Sumantapura mengajak putri bungsu pergi ke bulan. Putri bungsu pun mengikuti apa yang disarankan suaminya. Akan tetapi, syaratnya cukup berat: selamat perjalanan tidak boleh mengeluh. Jika mengeluh maka kamu akan terjatuh kembali ke bumi. Semua syarat itu siap untuk dipatuhi.
            Akan tetapi, apa hendak dikata. Tiba di pertengahan bumi dan bulan, putri bungsu mulai mengeluh kedinginan. Seketika itu juga ia terjatuh ke bumi. Yang tiba di bulan hanyalah Sumantapura sendiri.
            Sampai di bulan,Sumantapura segera memerintahkan adiknya untuk mengambil putri bungsu di bumi. Dengan segala kesaktiannya, adik Sumantapura terjen ke bumi dan dalam sekejap pula ia bertemu dengan putri bungsu.
            Pada saat itu juga, mereka terbang ke bulan. Mereka tiba di bulan dengan selamat. Tinggallah mereka di istana raja bulan dalam keadaan sejahtera dan bahagia.

TERJEMAHAN BAHASA WOLIO 
Dangia zamani piyamoyitu, dangia samia anana umane minaka yibula sapo yi dunia. Sarona laonto-ontolu oanana akaaka raja bula momangadana.
Sangu waktu, la onto-ontolu sakijamata akamata kangadana dunia. Incia amasinai kangadana dunia si gauna asapo yi dunia, gauna anamisi dunia.
Sangu waktu La onto-ontolu apembali karona sangu ontolu. Padayitu, oyincia apasiwuluaka karona yi dunia. Ountolu situ amandawu alausaka ipoteana manu (poteona manu mo pountoluna) uwa. Padayincia yitu, uwa dangia yinawuna. Sakijomata  arangomo kote-kotena manu apolawa-lawani tandana dangia lele madakina. Suarana mana mo marobo yitu arangoa uwa yinawu. Kakote-kotena manu yitu inuncana nggarandana uwa ambulimo yiwale-walena. Indafikiri marambea, uwa alausakamo ambuli yiwalena uwa afikiri ountoluna manuna akandea manu-ma kaka.
Minaka yinawu, uwa lausaka akamata poteana manuna. Wauw….., atokida akamata sangu ontolu maoge. Ouwa itu akamente-mente akamata ontolu maoge yitu. Kaengena dadina, uwa indapo akamata kaogeitu. Alamea ontolu situ, kasimpo adikaia inuncana langka. Mainawa, uwa alingkamo uka  yinawu. Alingka sayonampu, ambuli iwalena amalomo kampona pontangayo. Oyo uka yitu, uwa amara ronamo kinande adikana sayidena amapupu. Oyincema mokandea uwa samia-miana inda amataua. Sainamo uwe yigusi amatu mpu-mpu.
“Wah….wah….wah! atolaumpu. Oyincma garaka mokandea bari-baria si…?
Amainawa mbomouka yitu. Kinande te uwana uwa amapumpu. Ouwa atambambamo apusi.
“Mia yincema mopepadaia kinandena te uwe yiwaleku si?” onina uwa incuncana yincana.
Namisina uwa indamo sabara. Sawulinga akamata omia mo pepadayina kinandena te uwena yitu.
Sayona, indapo alingka yinawu, uwa apasadiapo kinande yi saripina kinande, apasadia gili te tabako. Padayitu uwa Alamo tambalina. Simpo alingka yinawu.
Laonto-Ontolu anamisi sanampu ronamo abari kinande asadiakea. Wale amalinomo. Apepumo La onto-Ontolu alimba mina yintolu yitu. Indapo akande, aporikanamo ayebaho. Pada yinciamai, La Onto-Ontolu apapumo akande. Bari-baria kinande mo tasadiana isao sampe amangkilo. Kinande apadea te uwe apakea apebahoaka sampe matu. Yisaripina kinande sao akamata mea gili te tabako. Acobamo tabako te gili yitu ronamo inda amananea, apusimo indamangenge atidolemo.
Padayitu, uwa ambulimo minaka yinawu. Atokidamo apoili yirapu. Akamatamo karona omia indaamatauna sampea-mpearo dangia atidole. Uwa yitu akoke, maka suarana inda alimba ronamo amaeka. Ngangarandana arengku, uwa sumai apepumo asari mia motidolena yitu.
“Oincema ara anana umane mangadana si?” onina uwe onuncana incana.
Posaronaka mia sumai mayati, garaka dangia adadi. Dangia inca amaeka, uwa sumai apabang mo umane yitu. Sawulinga umane yitu asadaramo pendua. Amayampu anana umane yitu akamata uwa akatoro-toro yiaroana uwa miana wale yitu. Kaogena yincana, aemani maafu yi uwa yitu. Sabutuna uwa si aundamo incana samatauna alasana oanana umane sao yitu. Kawa kamatea, garaka oanana umane yitu sao oanana raja bula sarona sumantapura. Oyincana asapo yidunia apembali karona yinuncana ontolu.
Amboremo manga ruamia yinuncana wale. Dadina manga sayo-sayo tangkanamo a kande te a sumpu. Kanaraka siy kangengemo anamisia. Maka, samantapura te uwa sao apemasiaka.
Sangu waktu, sumantapura adoa ikawasanaopu ara adawua banua mangada akotingkati, te bara-barana yinunca. Sakijo mata, kawasanaopu adawuaka yiemanina sumantapura. Banua mangada sakijo mata yiaraoana. Ambore mo sumantapura te uwa banua mangada. Banua mangada sumai namisina amalino aneinda te bawine. Aemanimo sumantapura yi opuna yitu ara aporae salah samia oanana raja di negeri yitu. Koakana oanana raja dangia pitumia saandi te aka.
“Lamarana yitu, atoalaya oakaka,”Onina Sumantapura apaumba uwa situ. Alingkamo uwa istana raja. Garaka, lamara yitu atolaya oakaka situ ronamo sarona oanana umane moporaea yitu Laonto-Ontolu maanana “Ontolu”.
Aporadami uwa yitu inda apaumbayakea saro Ontolu-Ontolu satotuna apakawamea yi sumantapura. Sumantapura yinda aputus asa. Aemanimo yiuwa alingka aporaekea oanana kedua raja maka hasina apokanamo te sao.
Samantapura inda aputus asa. Alingkamo porae anana katiga sampe andidi. Anana andidi mo tarimana lamarana sumantapura.
Putri andi-andi si ampumpu mo incana tea nana umane momini sarona Laonto-ontolu. Sabutuna yitu, incia agango-gango ma akaakana.
Sakonowiana, sumantapura akambeli-mbeli iyaroana istana te asawi ajara. Iwsumaimo manga akamata karona anana umane yitu. Sabutuna manga kabuabua yitu asosomo karona, apokia indatarima lamarana piyamo yitu. Sabutuna manga kabua-bua yitu asosomo manga itu bari-baria inda tegunana sumantapura sabantarame iwesitu ambulimo ibanuana. Akawamo yibanuana atumpumo uwa yitu abawakea ontolu maogena yitu I istana raja. Ontolu yitu adawuaka to putri andiandi. Alingkamo uwa yitu abawaka ontolu yi putri. Putri asana incana atarima ontolu yitu. Adikamo ontolu yitu isaripina tampana kolema. Kangengena te ontolu yitu dangia kajadi-kajadi mo anena mancuana istana. Ouwe akawa waktuna konowia, amatu mpumpu waktu sayona. Bomo humai torosu, oncema ara mo pakena uwe yitu, inda samia mpu mo matauna.
Sangu waktu malo, putri andiandi ausaha ajagania mia mo pepadaina uwe yitu. Potanga malo, arango mea suarana uwe kabilanga te mia moebaho. Totuuka, sumantapura apebaho potangamalo . Putri  andiandi sadadana ikolema, maka asadara. Abengkala saide-saide, sumantapura alimba minaka kamara mandi alausaka tampana kolemana putri andiandi. Putri andiandi atonto-tonto mea garaka ikamata samia anana umane mo magadana. Waktumo yitu amataumea garaka omia mopepadaina uwe yigusi garaka umane yitu.
Apepumo akili-kili matea, oncema ara umane incuncana ontolu yitu. Mataumea garaka oanana umane yitu sumantapura. Te aundamo mancuana rua-ruamia bawine andiandi apakawimea manga. Akawina manga yitu ahandamo oamarana oakaakana putri andiandi. Te karewuna incana yitu, manga adika-dikakea yiandina manga bari-baria pewau manga akarajaia anarakaka andina.
Sangu waktu, oakakana putri andiandi arencana mo manga akemba andina te umanena alingka apebaho yitawo. Kakembana yitu atarimaea te kaunde-undena incana. Putri andiandi alausakamo apaumba kakemba yitu yiumanena. Abawamo baku banga yincia abawa tabako, gili te mosaganana.
Mainawa, manga alingka pobawa-bawa yitawo asawi Bangka. Sakawana yi tangana tawo tala (dingkanana siri) putri andiandi abanakea mangakana yitawo. Putri andiandi akakeke tangi ronamo tampana bulawa yitu amasiakea. Tarpaksa awuju umanena alea inuncana tawo. Ronamo kasina te cintana asabumo yitawo. Simpo asabu oakakana putri andiandi amadei-deimo abose bangkana ambuli yiati. Umanena putri bungsu sao abolimea yitangana tawo. Putri bungsu indamo embali akaraja opea-opea. Abolimo sumantapura samia-miana yi tawo. Incia atawakalmo ikawasanaopu.
Putri andiandi aliamo bari-baria. Omanena mambumo agomia tawo. Oakakana putri bungsu asana namisina oakana andina yita anaraka. Putri andiandi ambulimo yibanuana hancuru incana. Sampotanga malona, bambana banuana putri andiandi amakampu te mia mobokuna bamba yitu. Adalah umanena karona sumantapura. Putri andiandi inda aparacaya saidempu. Abia umanena amatemo yitawo garaka indatotu. Otala ibanakana yitawo apakawakea.
Tekaporona inca, sumantapura sabutuna aboli banuana ambuli yibula. Oanana andi-andi asadaramo, jangan-jangan mobokuna bamba sao oumanena totu. Abungkalea bamba garaka atotu. Otala sao dangiamo yiarona bamba. Sayo sumantapura alingka maridomo, maka dangia arango kakena bawine, putri ampumpu aose umanena yapayimpu alingka. Sumantapura akembamo bawinena oputri andiandi pogauna umanena. Maka opea mo terjadinya boli amengelu. Akawa yitangana bula te tanga, putri andiandi apogaumo magari. Sabutuna yitu amandawu mo yitana. Mokawana yibula tangkanamo sumantapura samia-miana.
Akawa yibula, sumantapura atumpumo andina ala putri bungsu yitana. Te kakidana andina sumantapura asabumo yitana te sakijo mata apokwamo te putri bungsu.
Waktu uka yitu, manga apolaka yi bula, manga kawa yibula asalamati. Amboremo malapemo te amasanamo.

Rumah Tradisional Suku Wolio di Sulawesi Tenggara


Banua tada adalah rumah adat suku Wolio atau orang Buton di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Rumah adat berbentuk panggung ini unik karena dapat berdiri tegak tanpa menggunakan satu pun paku. Walaupun konstruksi dasarnya tetap sama, rumah adat ini dibedakan menjadi tiga macam.

1. Asal-usul
Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku Wolio[1] atau orang Buton di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku. Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya. Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku bertiang empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Sementara itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga adalah rumah tempat tinggal orang biasa (Berthyn Lakebo, 1986:65).



Bentuk bangunan banua tada tare talu pale tampak dari depan

Menurut La Ode Ali Ahmadi, seorang staf arkeologi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara, konstruksi ketiga jenis bangunan tersebut di atas pada dasarnya adalah sama karena berasal dari satu konstruksi yang sama, yaitu rumah yang memiliki siku atau dalam istilah setempat disebut dengan banua tada (rumah siku). Meskipun demikian, ketiga jenis bangunan tersebut di atas tetap memiliki perbedaan. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan status sosial orang yang menghuninya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada jumlah tiang yang digunakan, bentuk susunan rumah, dan posisi lantai rumah.

Rumah tempat tinggal raja atau sultan memiliki tiang samping 8 buah sedangkan rumah pejabat sultan mempunyai tiang samping 6 buah. Sementara itu, jumlah tiang samping pada rumah orang biasa hanya 4 buah (http://archnewsnusantara.wordpress.com). Jika dilihat dari segi susunan bangunan, rumah tempat tinggal raja terdiri dari 4 tingkat sedangkan rumah pejabat sultan dan orang biasa hanya satu tingkat. Perbedaan juga terlihat pada susunan lantai rumah. Lantai istana raja/sultan dibuat bertingkat-tingkat. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran dan keagungan sultan sebagai seorang pemimpin agama maupun sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Sementara itu, susunan lantai rumah orang biasa hanya dibuat rata atau tidak bertingkat.

Bentuk bangunan banua tana tare pata pale tampak dari depan

Masyarakat luas lebih banyak mengenal malige sebagai rumah adat masyarakat Buton daripada kedua jenis rumah adat Buton lainnya, yaitu Banua Tada Tare Pata Pale dan Banua Tada Tare Talu Pale. Hal ini dikarenakan malige yang merupakan arsitektur peninggalan Kesultanan Buton tersebut sarat dengan nilai-nilai dan kearifan budaya serta peradaban masyarakat Buton di masa lampau. Nilai-nilai ini dapat dipelajari melalui pemaknaan simbol dan ragam hias pada bangunan tersebut. Fungsi dan makna simbolis pada bangunan malige banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf. Masyarakat Buton pada masa itu menganggap bahwa pemilik malige—dalam hal ini Sultan—adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang diwujudkan dalam bentuk malige, baik secara konstruktif maupun dekoratif.

Bentuk rumah adat tradisional orang Buton diibaratkan tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, kaki, dan hati. Bagian kepala dianalogikan dengan atap rumah, badan dianalogikan dengan badan rumah, kaki dianalogikan dengan bagian bawah atau kolong rumah, dan hati dianalogikan dengan pusat rumah. Menurut keyakinan orang Buton, hati merupakan titik sentral tubuh manusia. Dengan demikian, sebuah rumah juga harus memiliki hati. Itulah sebabnya dalam masyarakat Buton terdapat sebuah tradisi memberi lubang rahasia pada salah satu kayu terbaiknya yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk menyimpan emas. Lubang rahasia tersebut dianggap sebagai simbol pusar yang merupakan titik sentral tubuh manusia sementara emas adalah simbol hati rumah tersebut (http://orangbuton.wordpress.com).

Pengaruh konsep tasawuf pada bangunan malige muncul sekitar pertengahan abad ke-16 M, yaitu sejak Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo, memeluk agama Islam dan dilantik menjadi Sultan Buton yang pertama dengan gelar “Murhum Kaimuddin Khalifatul”. Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa ulama yang mengislamkan dan melantik Raja Lakilaponto menjadi Sultan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Raja Lakilaponto diislamkan oleh seorang ulama ahli ilmu tasawuf dari Negeri Johor yang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani. Pendapat lain mengatakan, Raja Buton ke-6 tersebut diislamkan dan dilantik menjadi Sultan oleh Imam Fathani, yaitu guru dari Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani[2]. Pendapat yang terakhir ini lebih diyakini kebenarannya karena Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman dua kali datang ke Buton, yaitu tahun 1526 M dan tahun 1541 M. Pada kedatangannya yang kedua, ia disertai oleh gurunya yang bernama Imam Fathani. Menurut pendapat ini, Imam Fathani itulah yang mengislamkan lingkungan Istana Buton sekaligus melantik Raja Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Murhum. Kata “Murhum” diambil dari nama sebuah kampung di Patani yang bernama Kampung Parit Murhum (http://gundala69.wordpress.com).

Sultan Murhum Kaimuddin menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama untuk mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakatnya. Beliau bersama gurunya, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani, menerbitkan undang-undang Martabat Tujuh yang sebagian berisi ajaran tentang penyucian akhlak sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu (http://semua-tentangkehidupanku.blogspot.com). Selanjutnya, nilai-nilai ajaran tasawuf yang terkandung di dalam undang-undang tersebut diekspresikan baik dalam bentuk manuskrip maupun melalui simbol-simbol yang dilekatkan pada artefak-artefak, seperti pada Benteng Kesultanan (Benteng Wolio) maupun pada bangunan malige.

Hal lain yang melandasi penataan struktur bangunan rumah tradisional orang Buton adalah konsep kosmologi. Konsep ini mengajarkan tentang perlunya keseimbangan di antara seluruh unsur alam semesta. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan sebuah rumah, keberadaan sebuah sistem pengetahuan tentang kondisi lingkungan sekitar menjadi sangat penting. Dengan sistem pengetahuan yang dimiliki, masyarakat setempat dapat memilih bahan bangunan yang baik, waktu dan lokasi mendirikan rumah yang cocok, serta bentuk dan desain rumah yang tepat atau seimbang sehingga sebuah bangunan rumah dapat selaras dengan alam sekitar.


2. Bahan-bahan, Peralatan, dan Pelaksana

a. Bahan-bahan
  1. Kayu, digunakan untuk membuat tiang, dinding, pasak, gelegar, tangga, maupun bahan untuk membuat kerangka atap rumah. Jenis-jenis kayu yang dianggap berkualitas untuk dijadikan bahan bangunan di antaranya adalah kayu pohon nangka, jati, dan bayem.
  2. Bambu. Bambu pada umumnya digunakan sebagai lantai rumah. Jenis bambu yang dipilih adalah bambu yang sudah tua dan kemudian diawetkan dengan cara direndam di dalam air laut selama beberapa waktu sebelum dipasang agar dapat bertahan hingga ratusan tahun.
  3. Daun rumbia atau nipa. Daun ini digunakan untuk membuat atap rumah.

b. Peralatan
  1. Kapak, bingku, dan golocinca (golok pelurus), digunakan untuk membersihkan atau menguliti kayu.
  2. Hooti (pahat), boro, bassi (tali peluruh), digunakan untuk melubangi tiang.
  3. Karakaji (gergaji), kapulu (parang), dan pisau, digunakan untuk memotong dan meraut bambu yang akan dibuat menjadi lantai.
  4. Parang, gergaji, bingku, dan serut, yaitu digunakan untuk meluruskan kusen pintu dan kusen dinding rumah. Sementara itu, untuk menghaluskan kusen pintu dan kusen dinding, digunakan alat hooti (pahat) dalam berbagai ukuran dan uwe-uwe (water pas).

c. Pelaksana

Jenis tenaga atau pelaksana yang diperlukan untuk membangun rumah adat suku Wolio atau orang Buton terdiri dari tiga macam yaitu tenaga perancang, tukang ahli, dan tenaga umum.
  • Tenaga Perancang

Tenaga perancang yang diperlukan dalam membangun rumah adat Buton dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga perancang untuk Kamali atau malige dan tenaga perancang untuk tempat tinggal pribadi. Tenaga peracang untuk malige adalah Mahkmah Syara atau Syarana Wolio. Mereka ini bertugas untuk merencanakan bentuk dan tipologi malige yang sesuai dengan idaman Sultan. Sementara itu, tenaga perancang untuk rumah pribadi adalah calon pemilik rumah itu sendiri. Namun, biasanya masalah perencanaan tersebut diserahkan kepada seorang pande (tukang) yang berasal dari keluarga dekat calon pemilik rumah.
  • Saraginti dan pandeempu (tukang ahli)

Saraginti adalah para tukang ahli yang khusus bertanggung jawab dalam pembangunan Kamali atau malige pada masa Kesultanan Buton masih berkuasa. Di kalangan masyarakat umum atau di luar Kraton Buton, terdapat pula tukang ahli yang disebut dengan pandeempu, yang berarti tukang betul. Orang ini disebut pandempuu, karena selain ahli di bidang bangunan, ia juga ahli di bidang kemasyarakatan seperti ahli kutika (ahli penentu waktu), peramal (meramalkan segala sesuatu berupa malapetaka yang akan terjadi di masa datang), dan ahli kebatinan (mengusir musuh dengan ilmu kebatinannya) (Lakebo, 1986:112).
Ada satu lagi jenis nama tenaga yang berada di bawah pandeempuu. Nama jenis tenaga ini adalah pande atau tukang. Pande ini terdiri dari beberapa golongan sesuai dengan keahliannya seperti pande dinding (ahli dalam membuat dinding), pande pintu (ahli khusus membuat pintu), pande ukir/hias (ahli khusus membuat ukiran-ukiran rumah) dan lain sebagainya. Meski demikian, ada pula seorang pande yang memiliki seluruh keahlian tersebut.
  • Tenaga umum

Tenaga umum adalah jenis tenaga yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga. Tenaga umum dibagi menjadi dua macam, yaitu tenaga upahan dan tenaga pembantu.
  • Tenaga upahan, yaitu orang-orang yang dipekerjakan pada suatu bangunan rumah dengan cara diupah atau digaji. Orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan ini disebut sebagai pande hamba, yaitu para pembantu tukang ahli. Mereka merupakan satu kesatuan yang teroganisasi di bawah pimpinan seorang tukang ahli dan digaji dengan sistem gaji harian atau gaji borongan.
  • Tenaga pembantu, yaitu masyarakat atau keluarga yang bekerja secara sukarela untuk membantu pembangunan sebuah rumah. Jika bangunan yang akan didirikan adalah Kamali, Baruga (tempat musyawara), atau bangunan yang didirikan untuk kepentingan umum, maka tenaga yang digunakan adalah tenaga masyarakat secara umum. Sistem pengerahan tenaga semacam ini disebut dengan sistem kerja bakti atau gotong-royong. Jenis-jenis perkerjaan yang mereka kerjakan di antaranya adalah mengumpulkan bahan-bahan bangunan, membersihkan lokasi, mendirikan bangunan, dan memasang atap. Jika bangunan dibangun untuk kepentingan pribadi, maka sistem pengerahan tenaganya disebut dengan sistem tolong-menolong, yaitu mengundang keluarga dan para tetangga terdekat untuk membantu membangun rumah. Jenis pekerjaan yang mereka kerjakan sama seperti pada sistem gotong-royong.

3. Pelaksanaan Pembangunan Rumah Adat Orang Buton

a. Tahap Persiapan

Proses pembangunan rumah adat suku Wolio dimulai dengan diadakannya musyawarah untuk mufakat. Dalam musyawarah tersebut, dibicarakan berbagai macam hal seperti bentuk bangunan, tipologi dan ukuran rumah, cara pengambilan bahan, pemilihan lokasi dan arah rumah, dan siapa pelaksananya. Jika Kamali yang akan didirikan, maka seluruh pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Syarah dengan dibantu oleh sio limbona dan para kadie sementara arsitek dan pelaksananya adalah para saraginti dan pandeempu. Jika Banua yang akan dibangun, maka pelaksanaannya menjadi tanggung jawab si pemilik. Si pemilik menentukan bentuk dan lokasi rumah yang akan dibangun, jumlah biaya yang dibutuhkan, dan siapa arsiteknya melalui musyawarah keluarga. Untuk arsiteknya, mereka biasanya menunjuk seorang pande yang berasal dari keluarga terdekat (Lakebo, 1986:94-95).

Lokasi, arah, dan letak bangunan rumah suku Wolio pada umumnya dilakukan menurut ketentuan yang sama. Lokasi yang dipilih harus aman dari sumber penyakit dan segala gangguan dari luar. Pola perkampungan masyarakat pada umumnya mengelompok dan berjejer mengikuti jalan raya serta berada tidak jauh dari sumber-sumber air. Sementara itu, arah rumah yang baik menurut masyarakat setempat adalah arah utara atau selatan walaupun tetap diusahakan tidak harus tepat atau bisa bergeser sedikit dari titik utara atau selatan. Menurut keyakinan mereka, arah rumah tidak boleh tepat pada titik utara atau selatan karena, selain menghindari angin jahat, arah yang dipilih harus memudahkan mereka dalam menentukan arah kiblat ketika akan melaksanakan shalat (Lakebo, 1986:96-97).

b. Tahap Pengadaan Bahan

Sistem pengetahuan masyarakat setempat memiliki peranan yang sangat penting dalam tahap pengadaan bahan. Dengan sistem pengetahuan tersebut, orang Wolio dapat memilih waktu yang tepat untuk mengambil kayu dan dapat mengetahui jenis-jenis kayu yang berkualitas. Menurut mereka, waktu yang paling baik untuk mengambil bahan bangunan di hutan adalah pada waktu siang hari, yaitu sekitar pukul 05.00 pagi sampai pukul 11.00 siang. Bagi masyarakat pesisir, mereka menandai hal tersebut dengan berpedoman pada kondisi air laut. Jika air laut sedang pasang, yaitu sekitar pukul 09.00 pagi, maka pada saat itulah waktu yang paling tepat untuk mengambil bahan bangunan di hutan. Saat-saat selain jam-jam tersebut dianggap sebagai waktu yang tidak baik (Lakebo, 1986:97).

Adapun jenis kayu yang dianggap berkualitas untuk dibuat tiang rumah menurut pengetahuan masyarakat Buton adalah kayu danga (kayu nangka). Selain kuat dan kokoh, kayu ini mengandung nilai filosofis yang tinggi. Menurut mereka, kayu nangka adalah pohon yang berdaun rimbun, berbuah lebat dan rasanya manis, yang bermakna bahwa si pemilik rumah dapat tumbuh berkembang serasi dan berkesinambungan dalam suasana bahagia, aman, dan sentosa serta banyak rezeki.

Masyarakat Buton juga dapat mengenali ciri-ciri kayu melalui tanda yang disebut sebagai buku atau mata kayu (bekas cabang). Jenis-jenis kayu yang paling baik untuk dijadikan bahan bangunan berdasarkan tanda tersebut adalah kayu yang tidak memiliki buku. Sementara itu, jenis kayu yang tidak baik untuk bahan bangunan adalah kayu yang memiliki buku mate, yaitu bekas dahan yang sudah lama patah atau sudah lapuk namun tertutupi kulit hidup. Menurut keyakinan masyarakat setempat, kayu seperti ini tidak baik dijadikan bahan bangunan karena selain cepat rusak juga dapat menyebabkan hidup si penghuni rumah tersebut tidak tenang (Lakebo, 1986:99-100).

c. Tahap Pembuatan

Para siriganti, pandempuu, dan pande lainnya mulai membersihkan (menguliti) dan meluruskan kayu dengan menggunakan kapak atau bingku setelah seluruh bahan yang dibutuhkan terkumpul. Setelah dipilih dan dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, kayu-kayu tersebut dan bahan-bahan lainnya diramu menjadi bagian-bagian rumah. Setiap bagian rumah memiliki fungsi dan cara pembuatannya masing-masing. Berikut fungsi dan cara pembuatan beberapa bagian rumah adat orang Buton.
  • Sandi (sendi), yaitu fondasi tiang rumah yang terbuat dari batu kali (sungai) atau batu gunung yang berbentuk pipih. Sandi ini hanya diletakkan begitu saja di tanah tanpa harus ditanam atau diberi perekat. Antara sandi dan tiang diberi papan alas yang terbuat dari kayu keras dan ukurannya disesuaikan dengan diameter sandi dan tiang. Bagian ini berfungsi untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan.
  • Tiang, yaitu bagian rumah yang berfungsi untuk menopang bagian-bagian rumah lainnya. Tiang ini memiliki peranan yang sama pentingnya dengan fondasi pada rumah modern. Oleh karena itu harus dipilih kayu-kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu nangka, teme, atau jati. Kayu yang telah dipilih kemudian dibentuk menjadi empat persegi panjang untuk tiang malige dan bentuk bundar untuk tiang rumah orang biasa. Tiang-tiang tersebut kemudian diberi lubang, dimulai dari tiang utama kemudian disusul dengan tiang-tiang lainnya. Setelah itu, tiang-tiang tersebut dirangkai bersama bagian-bagian rumah lainnya menjadi satu deret sehingga terbentuklah kerangka rumah.
Susunan tada pada bangunan rumah adat suku Wolio atau orang Buton

Keterangan :
  1. Tiang
  2. Tada
  3. Tada
  • Kayi atau balok penyambung, yaitu bagian rumah yang berbentuk balok pipih dengan ukuran tebal sekitar 6-7 cm dan lebar 12-15 cm. Panjang balok pipih ini disesuikan dengan panjang rumah. Kayi berfungsi sebagai penghubung antara satu tiang dengan tiang yang lain. Kayi dibuat dengan cara menghaluskan kayu yang telah dibentuk menjadi balok pipih. Penghalusan ini dilakukan dengan menggunakan serut.
  • Tumbu tada, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi untuk mengikat atau menyambung deretan tiang yang berjejer ke samping. Tumbu tada berukuran tebal sekitar 6 cm, lebar 12 cm, dan panjangnya disesuaikan dengan lebar rumah. Cara membuatnya sama seperti cara pembuatan kayi.
  • Galaga (gelegar), yaitu balok pipih yang diletakkan di antara tumbu tada. Ukuran tebal dan lebarnya sama dengan ukuran tumbu tada sedangkan panjangnya disesuaikan dengan panjang masing-masing ruang. Galaga berfungsi sebagai landasan atau penyangga papan lantai. Cara membuatnya sama seperti membuat kayi dan tumbu tada.
  • Garaga, yaitu belahan-belahan bambu yang dipasang secara melintang di atas galaga. Garaga ini hanya digunakan jika lantai sebuah rumah terbuat dari bambu. Jika lantai rumah menggunakan papan kayu seperti pada bangunan malige, maka cukup digunakan galaga saja.
  • Lantai, yaitu bagian bawah atau alas (dasar) suatu ruangan atau bangunan yang berfungsi sebagai tempat melakukan segala kegiatan di dalam rumah. Lantai rumah tempat tinggal raja biasanya terbuat dari kayu jati, yang melambangkan status sosial sang sultan. Maknanya adalah bahwa sultan merupakan seorang bangsawan dan pribadi yang selalu tenang menghadapi persoalan. Sementara itu, lantai rumah tempat tinggal orang biasa terbuat dari kayu bambu yang sudah tua. Agar awet, bambu tersebut terlebih dahulu direndam di air laut selama berhari-hari. Setelah itu, bambu tersebut dipotong-potong sesuai dengan panjang kamar di dalam rumah, lalu dibelah dan diraut hingga halus. Selanjutnya, belahan-belahan bambu halus tersebut dijalin menjadi satu kesatuan dengan tali penjalin yang disebut woli sehingga tampak lebih indah.

Susunan lantai rumah adat suku Wolio

Keterangan :
  1. Ariy
  2. Konta
  3. Tumbu tada
  4. Galaga
  5. Kayi
  • Rindi atau dinding, yaitu bagian tengah rumah yang berfungsi sebagai penutup semua kerangka bagian tengah bangunan (badan) rumah. Dinding rumah adat Buton umumnya terbuat dari papan kayu. Dinding ini dibuat dengan cara memasang papan kayu bakal dinding pada tuorana rindi (rangka dinding) yang telah disiapkan sebelumnya.
  • Kerangka atap, yaitu bagian atas rumah yang berfungsi sebagai tempat untuk melekatkan atap rumah yang terbuat dari daun rumbia atau nipah. Kerangka atap ini terdiri dari beberapa bagian yang dirangkai menjadi satu kesatuan sehingga membentuk piramida. Bagian-bagian kerangka tersebut adalah tutumbu (tiang bubung), kasolaki, pana-pana, kumboho (bubungan), lelea, tadana tutumbu atau sule ngalu, dan tora-tora. Jika bangunan rumah terdiri 4 tingkat seperti bangunan malige, maka bangunan tersebut juga membutuhkan 4 set kerangka atap. Susunan kerangka atap dan istilah-istilah yang digunakan dapat dipahami dengan melihat gambar berikut.

d. Tahap Pendirian Rumah Adat Buton
  • Mendirikan tiang atau kerangka rumah
Lokasi rumah dibersihkan dan diratakan terlebih dahulu sebelum tiang didirikan, kemudian sandi-sandi disiapkan di tempat tiang-tiang tersebut akan dipasang. Sandi ini hanya diletakkan begitu saja di tanah tanpa harus ditanam atau diberi perekat. Antara sandi dan tiang diberi papan alas yang terbuat dari kayu keras dan ukurannya disesuaikan dengan diameter sandi dan tiang. Bagian ini berfungsi untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Setelah itu, pendirian kerangka rumah dapat segera dimulai.
Pendirian kerangka rumah dimulai dari pendirian deretan tiang di mana terdapat tiang utama dan kemudian disusul dengan deretan-deretan tiang lainnya. Setelah itu, galaga dipasang di antara tumbu tada dalam posisi sejajar.
  • Memasang kerangka atap dan atap rumah
Susunan atau tahap-tahap pendirian rumah modern biasanya dimulai dari bagian bawah, tengah, dan atas. Namun, urutan tahap-tahap pendirian rumah adat Buton tidak demikian. Lantai yang merupakan bagian rumah paling bawah justru dipasang setelah bagian atas atau rumah selesai. Jadi, setelah kerangka rumah berdiri, proses dilanjutkan dengan pemasangan kerangka atap, lalu disusul dengan pemasangan atap rumah yang terbuat dari daun rumbia atau nipa.
Kerangka atap rumah adat suku Wolio

Keterangan :
  1. Tutumbu
  2. Kasolaki
  3. Pana-pana
  4. Kumbowu
  5. Tadana tutumbu
  6. Lelea
  7. Tora-tora
  • Memasang bagian tengah rumah (lantai, dinding, pintu, dan tangga)
Pemasangan bagian-bagian tengah rumah dilakukan setelah pemasangan atap selesai. Bagian tengah rumah yang pertama-tama dipasang adalah lantai yang terbuat dari papan kayu atau jalinan bambu. Setelah itu, tuorana rindi (rangka dinding rumah) dipasang dan dilanjutkan dengan pemasangan dinding, pintu, dan jendela rumah. Tahap terakhir adalah pemasangan oda atau tangga rumah. Setelah semua bagian rumah induk selesai dipasang, maka pekerjaan selanjutnya adalah membuat bangunan rumah tambahan seperti dapur dan kamar mandi.
Urutan tahap-tahap pendirian rumah tersebut di atas berlaku pada semua bangunan rumah adat Buton. Hanya saja, pendirian bangunan malige lebih kompleks karena ruangannya lebih banyak daripada kedua jenis rumah adat Buton lainnya. 
4. Ragam Hias

Ragam hias pada rumah adat suku Wolio atau orang Buton secara garis besar terdiri dari dua macam, yaitu ragam hias dalam bentuk seni pahat (tiga dimensi) dan ragam hias dalam bentuk seni ukir (dua dimensi) (Lakebo, 1986:116). Ragam hias dalam bentuk seni pahat dan seni ukir tersebut biasanya ditempatkan pada bingkai-bingkai pintu atau jendela, pada dinding, dan ujung depan atau belakang bubungan atap rumah. Dari segi motif, ragam hias yang paling menonjol pada rumah orang Buton adalah motif flora dan dan fauna. Tiap-tiap motif memiliki makna simbolis dan nilai falsafah hidup yang tinggi. Kedua jenis motif tersebut adalah sebagai berikut.

a. Motif Flora
  1. Nanasi, yaitu hiasan yang berbentuk buah nenas. Motif yang biasanya ditempatkan pada ujung atap rumah bagian depan dan belakang ini melambangkan keuletan dan kesejahteraan. Tanaman nenas menurut mereka merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tidak mudah layu walaupun ditanam di tanah yang kering. Simbol nenas ini menyiratkan bahwa di mana pun orang Buton berada atau mencari nafkah, dia harus ulet dalam menghadapi segala tantangan alam.
  2. Bosu-bosu atau buah pohon butun (baringtonia asiatica), yaitu sejenis buah yang menyerupai buah delima. Motif yang biasa ditempatkan pada tengkebala atau bate (yaitu bagian atap rumah yang berada di bawah cucuran atap) merupakan simbol keselamatan, keteguhan, dan kebahagiaan.
  3. Ake, yaitu motif yang bentuknya seperti patra (daun). Motif ini melambangkan kesempurnaan. Motif ini juga terdapat pada bangunan malige sebagai lambang bersatunya Sultan (sebagai manusia) dengan Khalik (Tuhan). Makna simbol ini berasal dari ajaran tasawuf Wahdatul Wujud.
  4. Kambang, yaitu sejenis kembang berbentuk kelopak teratai atau matahari yang melambangkan kesucian. Karena bentuknya seperti matahari, maka orang Buton menyebutnya lambang Suryanullah (cahaya Allah), yang menggambarkan kemajuan atau pengembangan dari zaman Majapahit ke zaman Islam.
b. Motif Fauna

Motif fauna yang paling menonjol pada bangunan rumah adat Buton adalah motif naga. Motif ini biasanya ditempatkan pada bubungan atap rumah karena mayarakat beranggapan bahwa naga itu tinggal di langit. Motif ini melambangkan kekuasaan dan pemerintahan. Selain pada bubungan atap rumah, motif ini juga biasa dipasang pada pintu depan dan belakang, dengan maksud agar si penghuni rumah terhindar dari segala macam bahaya, terutama angin jahat (Lakebo, 1986:118).


5. Nilai-nilai 

Rumah adat suku Wolio atau orang Buton, terutama pada bangunan malige, sangat kaya dengan nilai-nilai dan kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut di antaranya kedekatan dengan alam, nilai keyakinan, nilai sosial, dan nilai estetika.

a. Nilai Kedekatan dengan Alam

Nilai kesatuan dengan alam yang tercermin pada rumah adat orang Buton terlihat pada bahan-bahan bangunan yang digunakan. Semua bahan bangunan tersebut terbuat dari bahan-bahan alami yang banyak tersedia di alam sekitar tempat tinggal suku Wolio. Nilai kesatuan dengan alam ini semakin jelas terlihat ketika mereka menganggap penggunaan kayu sebagai bahan untuk tiang rumah dapat memberikan kesejahteraan pada penghuninya. Hal ini juga terlihat pada makna simbol-simbol yang terkandung dalam ragam hias yang terdapat pada rumah adat ini. Motif-motif yang digunakan sebagian besar berasal dari alam.

b. Nilai Keyakinan

Struktur bangunan rumah adat Buton secara umum dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan dan keyakinan yang mereka miliki, masyarakat Buton – dalam hal ini Sultan Murhum Kaimuddin – mampu mengekspresikan nilai-nilai keyakinannya (ajaran tasawuf) melalui bentuk bangunan sehingga terciptalah bangunan yang indah dan artistik bernama malige sebagai tempat tinggal. Struktur bangunan rumah tersebut secara umum juga mempengaruhi struktur bangunan rumah masyarakat Buton. 

c. Nilai Sosial

Nilai sosial pada rumah adat Buton dapat dilihat dalam proses pembangunannya. Meskipun sebagian tenaga yang digunakan adalah tenaga upahan, namun sebagian pekerjaan pembuatan rumah adat tersebut juga dilakukan secara bergotong-royong, terutama dalam proses pembangunan malige. Dalam pembangunan malige, seluruh tenaga kerja yang terlibat merupakan suatu kesatuan teroganisir mulai dari Mahkamah Syarah, Sio Lombo, Saraginti, hingga Pandempuu. Mereka selalu bekerja sama untuk membangun rumah tempat tinggal raja mereka. Nilai sosial pada proses pembangunan rumah orang biasa juga dapat dilihat ketika para keluarga maupun tetangga terdekat secara bersama-sama membantu si calon pemilik rumah mencari bahan-bahan bangunan di hutan, membersihkan lokasi, mendirikan bangunan, dan memasang atap. Melalui kerjasama tersebut sifat solidaritas antarsesama masyarakat Wolio akan terjalin dengan baik.

d. Nilai Estetika

Nilai estetika merupakan salah satu nilai yang paling menonjol pada bangunan orang Buton. Nilai-nilai keindahannya terlihat sangat jelas mulai dari struktur dan bentuk bangunan hingga ragam hiasnya yang sarat seni rupa maupun seni ukir. Ukiran-ukiran motif flora dan fauna tampak sangat indah pada hampir semua bagian rumah adat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton pada masa lampau telah memiliki jiwa seni dan daya kreasi yang tinggi.


6. Penutup

Keberadaan rumah adat Banua Tada ini merupakan salah satu bukti bahwa orang Buton telah menunjukkan eksistensi mereka sebagai salah satu suku yang memiliki sistem pengetahuan, keyakinan, dan adat-istiadat atau yang disebut dengan kebudayaan. Terlepas dari apa dan bagaimana bentuk kebudayaan tersebut, hasil kreasi masyarakat Buton ini sangat patut untuk dihargai dan dilestarikan. Dalam hal ini, tentu saja peran pemerintah dan masyarakat Buton serta seluruh masyarakat pada umumnya sangat diperlukan untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional orang Buton agar tidak lekang dimakan zaman. 


Keterangan foto utama: Bangunan Istana Malige Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara.

Referensi
Anonim. “Asal mula orang Buton”, [Online], tersedia dalam http://orangbuton.wordpress.com/2008/07/22/asal-mula-orang-buton/
Bertyn Lakebo, at al., 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
La Ode Ali Ahmadi. 2009. “Makna simbolis pada Istana malige Buton”.
Rieska Wulandari. 2009. “Pulau aspal dengan kerajaan yang agung”, [Online], tersedia dalam http://orangbuton.wordpress.com/2008/08/01/pulau-aspal-dengan-kerajaan-yang-agung/
"Malige : Rumah adat orang Buton”, [Online], tersedia dalam http://archnewsnusantara.wordpress.com/2009/08/09/malige-rumah-adat-buton/
“Wisata Sulawesi Tenggara: Istana Malige
“Kesultanan Buton-chapter-1”, [Online], tersedia dalam http://gundala69.wordpress.com/2008/03/14/kesultanan-buton-chapter-1/
“Sultan Butuni pemimpin orang Buton”, [Online], tersedia dalam http://semua-tentangkehidupanku.blogspot.com/2009/06/sultan-butuni-pemimpin-orang-buton.html


[1] Suku Wolio atau yang lebih dikenal sebagai orang Buton adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Buton di Sulawesi Tengggara. Sebagai sebuah negeri, keberadaan Buton telah tercatat dalam Negarakrtagama karya Mpu Prapanca (1365 M). Dalam sejarah lisan Buton Hikayat Sipanjonga, disebutkan bahwa cikal-bakal Buton sebagai negeri dirintis oleh Mia Patamiana, yang secara harfiah berarti orang yang empat. Keempat orang yang dimaksud adalah Sipanjonga, Sijawangkati, Simalui, dan, Sitamanajohttp://orangbuton.wordpress.com/2008/07/22/asal-mula-orang-buton/. Mia Patamiana yang berasal dari Semenanjung Melayu tersebut datang ke Buton pada abad ke-13 M secara berkelompok melalui dua tahap. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Sipanjonga dan wakilnya Sijawangkati mendarat di pantai selatan Pulau Buton, yaitu sebuah daerah yang bernama Kalampa. Sementara itu, kelompok kedua yang dipimpin oleh Simalui dan wakilnya Sitamanajo mendarat pantai barat Pulau Buton yang dikenal sebagai Teluk Bumbu. Kedua kelompok tersebut kemudian melakukan perkawinan campur. Sipajonga menikah dengan adik perempuan Simalui yang bernama Sibanaa. Mereka kemudian membangun pusat perkampungan sekitar 5 km ke arah barat pantai Kalampa. Untuk membangun permukiman baru, mereka harus menebang kayu dan membabat semak belukar yang dalam bahasa setempat disebut dengan welia. Dari kata welia inilah muncul nama Wolio yang kemudian menjadi ibukota Kerajaan Buton dan nama masyarakat tersebut (Lakebo, 1986:65). Oleh karena itu suku Wolio di Buton mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari Semenanjung Melayu.
[2] Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani sebenarnya berasal dari Patani, Thailand Selatan. Hanya saja, sebelum sampai di Buton, ia pernah tinggal di Johor, Melaka, dan Ternate.